MATI RASA KETIKA KORUPSI DAN BENCANA ALAM TAK LAGI MENGEJUTKAN

MATI RASA  KETIKA KORUPSI DAN BENCANA ALAM TAK LAGI MENGEJUTKAN

Di negeri ini, berita tentang korupsi dan bencana alam seolah menjadi santapan sehari-hari. Angka-angka fantastis korupsi, mulai dari yang terhangat pengoplosan Pertamax serta penyelundupan emas ratusan ton dan yang terlama skandal BLBI, kasus BHS, ASABRI dan banyak lainnya, seperti tak lagi mampu menggetarkan hati nurani. Masyarakat, yang dulu lantang menyuarakan kemarahan, kini tampak lesu, seolah mati rasa.

Korupsi, bagaikan kanker ganas, terus menggerogoti sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Uang rakyat yang seharusnya digunakan untuk membangun infrastruktur, meningkatkan kualitas pendidikan, dan memberikan pelayanan kesehatan yang layak, justru masuk ke kantong-kantong pribadi para koruptor.

Skandal pengoplosan Pertamax, misalnya, bukan hanya merugikan negara triliunan rupiah, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Kasus BLBI, yang telah berlangsung selama puluhan tahun, masih menyisakan luka mendalam bagi bangsa ini. Begitu pula dengan kasus BHS dan penyelundupan emas, yang menunjukkan betapa rakusnya para koruptor dalam mengeruk kekayaan negara.

Di sisi lain, pemagaran laut yang mengharapkan sedimentasi air laut dan bencana alam terus melanda negeri ini. Banjir bandang, longsor, dan kebakaran hutan seolah menjadi langganan setiap tahun. Kerusakan lingkungan akibat eksploitasi yang berlebihan, ditambah dengan perubahan iklim, semakin memperparah keadaan.

Air bah yang melanda berbagai daerah, merendam rumah-rumah, merusak infrastruktur, dan merenggut nyawa, seperti tak lagi mampu membangkitkan kepedulian. Masyarakat, yang dulu sigap memberikan bantuan, kini tampak acuh tak acuh, seolah bencana alam adalah sesuatu yang wajar.

Ironisnya, di tengah maraknya korupsi dan bencana alam, para pemimpin negeri ini justru tampak bungkam. Pernyataan-pernyataan yang tegas dan mengutuk tindakan korupsi sangat minim. Begitu pula dengan upaya-upaya konkret untuk mencegah dan menanggulangi bencana alam.

Para wakil rakyat, yang seharusnya menjadi suara hati nurani masyarakat, justru suaranya hamper tak terdengar, mereke terkesan lebih sibuk dengan urusan-urusan pribadi dan kelompok. Mereka seolah lupa bahwa amanah yang mereka emban adalah untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Kepentingan tanah dan airnya.

Mati rasa yang dialami masyarakat ini sangat mengkhawatirkan. Ini adalah tanda bahwa bangsa ini sedang sakit, bahwa nilai-nilai keadilan dan kepedulian telah luntur. Jika kondisi ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin negeri ini akan hancur oleh korupsi dan bencana alam.

Kita tidak boleh membiarkan mati rasa ini terus berlanjut. Kita harus bangkit, menyuarakan kebenaran, dan menuntut keadilan. Kita harus mendesak para pemimpin untuk bertindak tegas dan bertanggung jawab.

Di tengah kegelapan, masih ada secercah harapan. Masih ada orang-orang yang peduli, yang terus berjuang melawan korupsi dan menjaga lingkungan. Masih ada organisasi-organisasi dengan “Jihad Konstitusi” yang bekerja keras untuk menciptakan perubahan.

Kita tidak boleh menyerah. Kita harus terus berjuang, sampai keadilan dan kepedulian kembali menjadi bagian dari jati diri bangsa ini.

Share this Post:

Leave a Comment