“Ramai di Medsos, Lemah di Literasi”
Oleh :
Undang Iman Santosa,S.TP..M.M.Pd
(Pegiat Literasi SMKN PP Cianjur)
Di sebuah ruang kelas di Cianjur, seorang
guru matematika menulis soal sederhana di papan tulis: “Seorang petani punya 12
ekor ayam. Kalau setiap hari ia memberi makan 3 ekor, berapa hari sampai semua
ayam mendapat pakan?” Suasana hening. Beberapa siswa tampak bingung menghitung,
sebagian lainnya malah menatap layar ponsel. Ada yang sedang membuka
TikTok, ada pula yang asyik bermain game.
Kejadian seperti itu bukan hanya di satu
sekolah. Banyak guru di Indonesia merasakan hal yang sama: kemampuan membaca
dan berhitung siswa masih lemah, padahal mereka sangat aktif menggunakan media
sosial. Ini adalah gambaran nyata tentang kondisi pendidikan kita hari ini —
aktif di dunia maya, tapi pasif di dunia belajar.
Hasil
penelitian internasional juga menunjukkan hal yang serupa. Laporan PISA tahun 2022, yang menilai kemampuan
siswa berusia 15 tahun dari 80 negara, menempatkan Indonesia di posisi 69. Skor
membaca kita hanya 359 poin, sedangkan rata-rata dunia 476 poin. Skor
matematika 366 poin, jauh di bawah rata-rata global 472 poin. Bahkan
sebagian besar siswa Indonesia belum mencapai level dasar kemampuan membaca dan
berhitung. Artinya, banyak siswa yang masih kesulitan memahami teks sederhana
atau menyelesaikan soal angka dalam kehidupan sehari-hari.
Ironisnya, di sisi lain, anak-anak
Indonesia termasuk pengguna internet paling aktif di dunia. Data dari We Are
Social dan APJII menunjukkan, pada tahun 2024 ada lebih dari 221 juta pengguna
internet di Indonesia. Sebagian besar adalah pelajar dan remaja. Mereka bisa
menghabiskan berjam-jam di TikTok, Instagram, atau YouTube, tetapi belum tentu
bisa menjelaskan isi berita yang mereka baca, atau menghitung diskon belanja
dengan tepat.
Fenomena ini seperti dua dunia yang
bertolak belakang. Di dunia digital, pelajar kita terlihat cerdas dan lincah. Mereka
cepat menguasai fitur baru, pandai membuat konten, dan aktif berkomentar di
berbagai platform. Namun, di dunia
nyata, kemampuan berpikir kritis dan logis mereka masih tertinggal. Banyak yang
bisa membuat video viral, tapi sulit menulis paragraf yang utuh. Ada yang
pandai menggunakan kalkulator, tapi bingung memahami konsep dasar matematika.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Salah satu
penyebabnya adalah cara belajar yang masih berfokus pada hafalan dan latihan
soal, bukan pada pemahaman dan penerapan dalam kehidupan sehari-hari.
Matematika sering dianggap menakutkan, bukan sebagai alat untuk berpikir logis.
Membaca dianggap tugas sekolah, bukan kebutuhan hidup. Padahal, literasi dan
numerasi adalah bekal dasar agar seseorang mampu berpikir jernih, mengambil
keputusan, dan menghadapi tantangan zaman.
Selain itu, penggunaan gawai dan internet
tanpa pengawasan membuat siswa lebih sering mengonsumsi hiburan daripada
informasi bermanfaat. Banyak dari mereka yang percaya begitu saja pada berita
di media sosial tanpa memeriksa kebenarannya. Inilah tanda rendahnya literasi
digital. Mereka aktif berbagi, tetapi tidak selalu paham apa yang mereka
bagikan.
Kita juga perlu menyadari bahwa masalah
ini tidak bisa disalahkan pada siswa semata. Sekolah, guru, dan orang tua
memegang peran penting. Sekolah perlu mengubah cara belajar agar lebih bermakna
dan menantang. Guru perlu melatih siswa untuk bertanya, menalar, dan mencari
tahu sendiri, bukan hanya menghafal. Orang tua juga perlu mendampingi
anak-anaknya dalam menggunakan internet, bukan sekadar membiarkan mereka “diam
tapi sibuk” dengan ponselnya.
Sebenarnya, banyak cara untuk memperkuat
literasi dan numerasi. Misalnya, siswa bisa diajak membaca berita dan
mendiskusikan isinya di kelas. Atau menghitung pengeluaran harian keluarga
sebagai latihan numerasi. Guru juga bisa memanfaatkan media sosial sebagai alat
belajar — bukan hanya tempat hiburan. Dengan cara ini, siswa belajar berpikir
kritis sambil tetap berada di dunia digital yang mereka sukai.
Mari kita bayangkan, jika setiap siswa
Indonesia mampu membaca dengan baik, memahami teks secara kritis, dan berpikir
logis dalam berhitung, betapa kuatnya bangsa ini. Kita tidak akan hanya menjadi
pengguna teknologi, tapi juga pencipta gagasan dan inovasi.
Namun selama ini, yang sering kita lihat
adalah sebaliknya. Pelajar Indonesia menjadi “raja komentar” di dunia maya,
tapi sulit menjelaskan isi bacaan di dunia nyata. Mereka bisa gaduh di kolom
komentar, tetapi diam saat diminta menjelaskan makna sebuah kalimat. Dunia maya
begitu ramai, tapi dunia berpikir masih sepi.
Sudah saatnya kita berbenah. Literasi dan
numerasi bukan sekadar nilai di rapor, tapi kemampuan hidup yang menentukan
masa depan. Jika kita ingin bangsa ini cerdas, mandiri, dan berdaya saing, maka
perbaikan harus dimulai dari cara kita belajar, membaca, dan berpikir.
Kesimpulan:
Hasil PISA 2022 menunjukkan kemampuan
literasi dan numerasi pelajar Indonesia masih rendah, sementara penggunaan
internet dan media sosial terus meningkat. Kondisi ini menjadi peringatan bagi
kita semua: jangan sampai pelajar kita hanya pandai bersuara di dunia maya,
tapi gagap dalam berpikir dan berhitung di dunia nyata. Saatnya menjadikan
literasi dan numerasi bukan sekadar pelajaran, melainkan gaya hidup berpikir
generasi muda Indonesia.




