Dilema Etika Seorang Guru Menghadapi Murid Gen Z
Penulis
Lyna Tania Marlin, S.Hut.,M.P.
(Pegiat Literasi SMKN PP Cianjur)
Setiap zaman punya tantangannya sendiri. Kalau dulu guru menghadapi murid yang takut
terlambat, rajin mencatat, dan patuh pada aturan, sekarang situasinya agak berbeda. Muridmurid zaman sekarang yang sering disebut Generasi Z tumbuh di dunia yang serba cepat,
serba digital, dan penuh kebebasan berekspresi.
Sebagai guru, menghadapi generasi ini bukan hanya soal bagaimana menyampaikan
pelajaran, tapi juga tentang bagaimana menjaga nilai dan etika di tengah dunia yang terus
berubah. Di sinilah muncul apa yang disebut “dilema etika” situasi di mana guru harus
memilih antara dua hal yang sama-sama benar, tapi berbeda arah.
Antara Disiplin dan Kebebasan
Generasi Z dikenal kreatif, kritis, dan berani menyampaikan pendapat. Mereka tidak mudah
menerima sesuatu hanya karena “kata guru begitu”. Mereka ingin tahu mengapa.
Bagi sebagian guru, ini bisa menjadi tantangan besar. Misalnya, ketika murid
mempertanyakan aturan sekolah atau cara mengajar yang dianggap ketinggalan zaman, guru
bisa merasa dilema.
Apakah harus tetap tegas agar wibawa terjaga, atau memberi kebebasan agar murid merasa
dihargai?
Dulu, disiplin identik dengan diam, patuh, dan mengikuti aturan tanpa banyak tanya.
Sekarang, murid yang banyak bertanya justru dianggap aktif dan cerdas. Tantangannya
adalah bagaimana guru tetap menjaga kedisiplinan kelas, tapi tidak mematikan semangat
berpikir kritis murid
Dunia Maya Antara Dekat dan Terlalu Dekat
Di era media sosial, batas antara kehidupan pribadi dan profesional jadi semakin tipis. Guru
dan murid bisa saling mengikuti di Instagram, saling komentar di TikTok, bahkan bercanda
di grup WhatsApp.
Hubungan yang dekat memang bisa membuat suasana belajar lebih hangat, tapi juga bisa
menimbulkan salah paham. Ada murid yang mungkin merasa terlalu akrab, atau bahkan salah
menafsirkan sikap ramah seorang guru.
Dilema pun muncul apakah guru sebaiknya menjaga jarak agar tetap profesional, atau justru
mengikuti arus agar tidak dianggap “kuno”?
Kuncinya adalah bijak dan tahu batas. Guru tetap bisa akrab dengan murid, tetapi dengan cara
yang sopan dan mendidik. Dunia maya boleh jadi ruang interaksi, tapi etika tetap nomor satu.
Nilai Moral di Tengah Perubahan Zaman
Sekarang, banyak hal yang dulu dianggap tabu, kini dibicarakan secara terbuka. Generasi Z
hidup di tengah arus global yang menekankan keberagaman dan kebebasan berekspresi.
Bagi guru, hal ini kadang menimbulkan dilema. Misalnya, bagaimana menyikapi murid
dengan gaya berpakaian yang berbeda, atau pandangan hidup yang tidak sesuai dengan
norma lama? Apakah harus ditegur, atau dibiarkan karena itu bagian dari identitas dirinya?
Guru tentu punya tanggung jawab menanamkan nilai moral, tapi juga perlu menghargai
perbedaan. Di sinilah pentingnya empati dan kebijaksanaan. Guru perlu mengajarkan
kebaikan bukan dengan menghakimi, tetapi dengan memahami.
Teknologi Sahabat atau Tantangan?
Dulu, guru adalah sumber utama pengetahuan. Sekarang, murid bisa mencari informasi hanya
dalam beberapa detik lewat internet. Bahkan, ada murid yang tahu lebih cepat tentang berita
atau teknologi baru dibanding gurunya!
Hal ini sering membuat guru merasa “tertantang”. Tapi justru di sinilah peran guru menjadi
semakin penting. Guru bukan hanya menyampaikan apa yang harus dipelajari, tapi juga
mengajarkan bagaimana cara berpikir dan bersikap bijak terhadap informasi.
Dengan kata lain, guru bukan lagi hanya pengajar, tapi pemandu kebijaksanaan. Generasi Z
tahu banyak hal, tapi belum tentu tahu mana yang benar dan mana yang salah. Di sinilah guru
berperan membimbing, bukan bersaing.
Adil Bukan Berarti Sama Rata
Dalam menilai murid, guru sering menghadapi dilema antara objektivitas dan empati.
Ada murid yang rajin tapi hasil ujiannya tetap rendah. Ada juga yang jarang belajar tapi
nilainya bagus karena cepat tangkap. Lalu bagaimana guru bisa bersikap adil?
Adil bukan berarti semua murid diperlakukan sama. Adil berarti memberi sesuai kebutuhan
dan usaha. Guru harus bisa melihat bahwa setiap murid punya perjuangan masing-masing.
Memberi nilai bukan sekadar menulis angka, tapi juga menghargai proses. Dengan begitu,
murid merasa dihargai, bukan sekadar dinilai.
Antara Tegas dan Terlalu Lunak
Zaman sekarang, guru dituntut untuk menjadi ramah dan tidak galak. Tapi kalau terlalu
lembut, murid bisa kehilangan rasa hormat. Kalau terlalu tegas, nanti dibilang keras dan tidak
pengertian. Serba salah, bukan?
Inilah dilema etika yang sering dialami guru. Di satu sisi, guru ingin menanamkan disiplin
dan tanggung jawab. Di sisi lain, guru juga tidak ingin membuat murid merasa takut atau
tertekan.
Solusinya adalah menjadi tegas dengan cara yang hangat. Tegas bukan berarti marah, tapi
konsisten. Guru yang baik bukan yang selalu memaafkan, tapi yang bisa menegur dengan
bijak dan mendidik.
Dunia Viral dan Tekanan Moral
Zaman sekarang, semua bisa direkam dan disebarkan. Guru yang marah atau salah bicara bisa
langsung jadi bahan viral di media sosial. Akibatnya, banyak guru jadi serba hati-hati, bahkan
takut bersikap tegas.
Padahal, guru juga manusia. Bisa lelah, bisa salah, bisa kecewa. Dilema etika muncul ketika
guru harus memilih antara bersikap tegas tapi berisiko disalahpahami, atau diam saja agar
aman.
Yang dibutuhkan bukan ketakutan, tapi transparansi dan komunikasi. Jika guru terbuka
menjelaskan alasan di balik tindakannya, murid dan orang tua biasanya akan lebih
memahami. Integritas selalu menjadi tameng terbaik bagi guru yang bertindak dengan niat
baik.
Mendidik di Era Serba Cepat
Murid-murid Gen Z tumbuh dengan kecepatan luar biasa informasi, hiburan, dan gaya hidup
semuanya bergerak cepat. Tapi dalam pendidikan, tidak semua hal bisa instan.
Nilai, karakter, dan tanggung jawab tidak bisa diajarkan dalam satu malam. Butuh waktu,
contoh, dan kesabaran. Guru sering kali merasa dilema antara mengikuti kecepatan zaman
atau tetap bertahan pada prinsip pendidikan yang mendalam.
Namun satu hal pasti pendidikan bukan perlombaan kecepatan, tapi perjalanan pembentukan
manusia. Guru adalah pemandu dalam perjalanan itu.
Hati Sebagai Kompas Etika
Di tengah semua dilema, guru punya satu panduan yang tak tergantikan hati nurani.
Etika bukan sekadar aturan tertulis, tapi panggilan hati untuk berbuat baik dan adil. Guru
yang mendidik dengan hati tidak akan mudah goyah meski dunia berubah. Ia tahu kapan
harus keras, kapan harus lembut, kapan harus diam, dan kapan harus bicara.
Hati yang tulus akan memandu setiap langkah, bahkan di saat penuh dilema.
Menjadi guru di zaman Gen Z memang tidak mudah. Ada begitu banyak dilema yang harus
dihadapi. antara disiplin dan kebebasan, antara kedekatan dan profesionalitas, antara moral
dan toleransi, antara tegas dan empatik.
Namun justru disitulah keindahannya. Guru bukan hanya pengajar, tapi juga pembelajar
seumur hidup. Setiap dilema adalah kesempatan untuk tumbuh, memahami, dan menemukan
cara terbaik mendidik manusia muda di dunia yang terus berubah.
“Generasi boleh berganti, teknologi boleh berkembang, tapi panggilan hati seorang guru
tetap sama menuntun dengan kasih, mendidik dengan nurani, dan memberi teladan
dengan perbuatan.”





